MenurutKH Dachlan Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisongo melakukan sidang lagi membahas berbagai hal. Diantaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Walisongo. 1. Walisongo Periode Pertama Diantaranyaadalah kitab lujain Dani dan Manaqib al-karomah. Pada artikel kali ini, Kami juga akan membagikan kitab Manaqib lainnya yang berjudul Jawahirul ma'ani. Sebuah kitab yang disusun oleh Syekh Ahmad Jauhari. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Darussalam, Tanggulangin, kejayaan, Pasuruan, Jawa Timur. ShalawatSyekh Abdul Qodir Jailani. Shalawat Taktsir Rizqi. Kitab ini sampai sekarang masih tersimpan dimasjidnya di Tantha.Sepanjang hidupnya beliau terkenal memiliki banyak karomah.Diantara amalan syaikh Ahmad Badawi yang masih populer dan diamalkan umat islam diseluruh dunia adalah Shalawat An-Nur dan shalawat Al-Qabdlah yang dikenal SyeikhAhmad Al Badawi; Syekh Abdul Qadir al-Jaylani; Syekh Ibnu Athaillah; Syaikh Ahmad Rifa'i Sang Wali Quthub November 2012 (1) Agustus 2012 (1) Juli 2012 (2) Juni 2012 (2) Mei 2012 (1) Februari 2012 (2) 2011 (178) Desember 2011 (21) SilsilahSyekh Rahmatillah: 1. Beliau putra dari Raden Jayeng Rono Bupati Wiroto ke 2 bernama : MUHAMMAD -. 2. Putra Raden Qosim (Jayeng Rono ke 1) 3. putra Raden Husen (among Negoro bupati pasuruan yang dimakamkan diPekalongan) 4. Putra Aryo Bukuh. 5. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Kisah kita ini dimulai dengan mimpi seorang ibu hamil bernama Fathimah binti Muhammad bin Ahmad asy-Syarif di suatu malam. Ia bermimpi mendengarkan malaikat menyeru “Berbahagialah, engkau akan melahirkan seorang anak istimewa yang berbeda dengan yang lain”. Tepat pada tahun 596 H, lahirlah seorang bayi laki-laki di kota Fes, Maroko. Sang bayi ini lahir dari keluarga yang adalah seorang putra bungsu dari seorang ulama bernama syekh Ali bin Ibrahim al-Husaini. Sang sufi ini bernasab lengkap Syekh Ahmad al-Badawi bin Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Abu Bakar bin Isma’il bin Umar bin Ali bin Utsman bin Husain bin Muhammad bin Musa bin Yahya bin Isa bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad bin Hasan al-Askari bin Ja’far bin Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain, putra Fathimah az-Zahrah binti Rasulillah. Di antara saudara-saudari dari Syekh Ahmad al-Badawi adalah al-Hasan, Muhammad, Fathimah, Zainab, dan Ruqayyah. Dahulu leluhurnya yang bernama Syekh Muhammad al-Jawwad beserta keluarganya meninggalkan kota Makkah karena penindasan yang dilakukan oleh Gubernur al-Hajjaj bin Yusuf terhadap para keturunan Rasulullah. Di kemudian hari, sebagian keturunan Syekh Muhammad al-Jawwad menetap di perkampungan Zaqaq al-Hajr kota Fes Maroko. Pada suatu malam yang dingin tepatnya malam senin tahun 603 H, Syekh Ali bin Ibrahim bermimpi, “Wahai Ali, bagunlah dari tidurmu, pergilah bersama anak-anakmu ke kota Makkah, disana engkau akan menemukan rahasia serta kabar gembira.” Ia pun menceritakan mimpinya kepada keluarga tercintanya. Perjalanan berat di mulai, selama 8 tahun lamanya sang sufi Ahmad al-Badawi yang masih kecil mengarungi perjalanan bersama keluarganya menuju kota Makkah. Syekh Ahmad al-Badawi belajar ilmu tajwid, fikih madzhab Syafi’i hingga ilmu Hadits kepada para ulama yang ada di kota Makkah. Selain itu, Syekh Ahmad al-Badawi juga belajar keahlian memanah, menggunakan pedang serta terkenal dengan sifat pemberani serta dermawan sehingga dijuluki dengan al-Attab, ahli berkuda yang hebat serta julukan Abul Futyan, yang sangat dermawan. Waktu berjalan sangat cepat, sang sufi syekh Ahmad al-Badawi telah berusia sekitar 31 tahun. Di usia yang matang ini, ia harus kehilangan sosok ayah yang menyayanginya. Dunia pun terasa jauh berbeda setelah wafatnya sang ayah. Kini, syekh Ahmad al-Badawi merasa telah waktunya untuk menempuh jalur sufi, jalur yang ditempuh oleh leluhurnya terdahulu. Ia pun memilih menyendiri di pegunungan Abu Qubais, pinggiran kota Makkah. Sang sufi mulai mengenaikan kain penutup wajah agar ia tak dikenali banyak orang. Kelak, ia dijuluki dengan al-Badawi karena kebiasaannya memakai kain penutup wajah sebagaimana layaknya orang arab pedalaman. Di gunung Abu Qubais inilah ia berguru kepada seorang sufi bernama syekh Bari, salah satu murid syekh Ahmad ar-Rifa’i. Suatu malam sang sufi bermimpi mendapatkan petunjuk Allah untuk hijrah menuju negeri Iraq, negeri para kekasih Allah. Sang sufi pun mengajak saudaranya yang bernama syekh Hasan untuk mengembara dengan misi yang mulia mencari guru menuju Allah. Perjalanan mulia ini tercatat dimulai pada tanggal 10 Muharram tahun 634 H. Kota Baghdad yang penuh dengan makam para kekasih Allah telah ia jelajahi. Bahkan, perkampungan Ummi Ubaidah dimana syekh Ahmad ar-Rifa’I dimakamkan juga telah ia datangi. Hingga suatu malam, datanglah syekh Abdul Qadir al-Jailani beserta syekh Ahmad ar-Rifa’I bertamu dalam mimpinya. “Wahai Ahmad, kami datang kepadamu membawa kunci kewalian tanah Iraq, Yaman, India, Romawi, daerah timur dan barat di tangan kami. Kunci kewalian manapun yang engkau inginkan akan kami berikan,” ujar syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad Ar-Rifa’i. Syekh Ahmad al-Badawi dengan penuh kerendahan hati menjawab, “Aku tak dapat mengambil kunci kewalian daerah manapun kecuali atas kunci yang Allah kehendaki untukku.” Mimpi ini adalah sebuah pertanda kelak Syekh Ahmad al-Badawi akan mendapatkan derajat kewalian yang agung. Sebulan dua bulan tak terasa, kerinduan kepada kota Makkah al-Mukarramah membuncah. Sang sufi kembali ke tanah suci dengan ribuan kisah pengalaman yang tak ternilai harganya. Banyak dari kitab sejarah yang mencatat bahwa syekh Ahmad al-Badawi berguru secara langsung kepada syekh Abdul Qadir al-Jailani. Padahal, bila kita runut terpaut sedikit jauh masa hidup Abdul Qadir al-Jailani wafat pada tahun 561 H sedangkan syekh Ahmad al-Badawi lahir pada tahun 596 H. Sekitar setahun setelah kedatangannya kembali ke kota Makkah al-Mukarramah datanglah sebuah isyarat mimpi yang ajaib. Dalam mimpinya, ia mendengarkan perintah “Berangkatlah ke kota Thanta, kelak engkau akan mengajar para sufi di sana.” Mimpi ini terulang hingga tiga kali. Kota Thanta atau yang dahulu dikenal dengan nama kota Thantuda adalah kota yang subur di bagian utara negara Mesir. Tepat pada bulan Ramadhan tahun 636 H, Syekh Ahmad al-Badawi datang di kota Thanta. Keberadaan Syekh Ahmad al-Badawi di kota Thanta terlihat sangat unik. Ia datang ke kota Thanta dan menetap di loteng rumah milik Ibnu Syuhaith. Berhari-hari hingga berbulan-bulan, Syekh Ahmad al-Badawi bertafakkur, membaca al-Qur’an, beribadah di loteng yang sunyi tanpa makan dan minum. Di loteng yang kini menjadi tempatnya bermunajat bersama Allah, ia banyak ditemani oleh muridnya yang bernama Syekh Abdul Ali yang kala itu masih usia remaja. Kelak, Syekh Abdul Ali inilah yang merapikan serta mengembangkan ajaran tarekat Syekh Ahmad al-Badawi. Metode dakwah yang dipakai Syekh Ahmad al-Badawi tergolong unik. Syekh Abdul Ali membawakan orang-orang yang yang ingin mendapatkan keberkahan Syekh Ahmad al-Badawi ke loteng. Kemudian, Syekh Ahmad al-Badawi akan menasehati dan mendoakan di loteng tanpa sedikitpun membuka penutup wajahnya. Tak ada satupun tamu yang mengetahui wajah asli sang sufi. Pernah suatu ketika seorang muridnya bernama Syekh Abdul Majid meminta untuk melihat wajah sang syekh. “Wahai guruku, aku ingin melihat wajah muliamu agar aku mengenalmu, meskipun aku harus mati karena tak kuat melihat wajahmu,” ujar Syekh Abdul Majid. Sang guru pun membuka penutup wajahnya. Tak lama kemudian, Syekh Abdul Majid terjatuh dan meninggal di tempat. Pernah suatu ketika Syekh Ibnu Daqiq Al-ied sebagai mufti tertinggi negara Mesir menyangsikan ajaran Syekh Ahmad al-Badawi. Maka, berkirim suratlah sang mufti kepada syekh Abdul Aziz ad-Daraini, salah satu tokoh ulama kota Thanta. “Wahai syekh, ujilah keilmuan Syekh Ahmad al-Badawi, apabila engkau mengenalnya sebagai ahli ilmu maka mintakanlah doa untukku.” Dihaturkanlah surat sang mufti kepada Syekh Ahmad al-Badawi. ”Wahai Abdul Aziz, katakanlah kepada sang mufti Wahai syekh, perbaikilah hiasan tulisan al-Qur’an yang terpampang di rumahmu, kesalahannya ada di sini, di sini, dan di sini. Begitu juga, ingatlah bahwa al-Qur’an yang engkau pakai memiliki kesalahan kepenulisan, satu di surat ar-Rahman dan satu di surat Yasin.’” “Wahai Abdul Aziz, katakanlah kepada sang mufti من وصل إلى مقام تسليم فاز برياض النعيم Barang siapa yang sampai pada derajat kepasrahan, niscaya ia akan beruntung mendapatkan taman surga.’” Suatu ketika, karena sangat penasaran syekh Daqiq al-Ied datang secara langsung ke loteng Syekh Ahmad al-Badawi. Sang mufti agung ini terheran dengan keadaan Syekh Ahmad al-Badawi yang terlihat seperti seorang yang linglung. “Subhanallah, bagaimana mungkin masyarakat meyakini kemuliaan dan keramatnya orang ini. Tidak lah ia kecuali seperti orang gila,” ujar Syekh Daqiq al-Ied. Maka, Syekh Ahmad al-Badawi pun menjawabnya dengan sebuah syair مجانين إلا أن سر جنونهم....... عزيز على أعتابه يسجد العقل “Sungguh termasuk orang-orang yang gila, tetapi rahasia kegilaannya sangat bernilai di ambang pintu rahmat Allah, akal manusia takluk di hadapannya.” Kemudian, Syekh Ahmad al-Badawi memberikan banyak nasihat serta doa. Sang mufti agung Mesir, Syekh Daqiq el-ied pun terkagum-kagum serta meminta maaf atas kesalahannya. Di kemudian hari, Syekh Daqiq al-Ied menjadi seorang pengikut setianya. Pada akhir hayatnya, Syekh Ahmad al-Badawi mewasiatkan kepada Syekh Abdul Ali atas dasar-dasar tarekatnya yaitu; tidak boleh berbohong meskipun dalam hal kecil, tidak boleh melakukan perbuatan jahat dan keji, selu menjaga penglihatan mata dari hal yang dilarang Allah, selalu menjaga nama baik, menjadi pribadi yang pemaaf, selalu takut kepada Allah, selalu melanggengkan zikir dan tafakkur kepada Allah. Di kemudian hari, tarekat Syekh Ahmad al-Badawi dikenal dengan tarekat Ahmadiyyah. Sang sufi wafat pada tahun 675 H di kota Thanta. Di kemudian hari, peringatan wafat sang sufi diadakan setiap pertengahan bulan Oktober di kota Thanta selama seminggu penuh. Haul sang sufi adalah haul terbesar kedua di negara Mesir setelah haul Sayyidina Husain, cucu Rasulullah di kota Kairo Mesir. Pernah suatu ketika seorang sufi bernama Abu Ghaith bin Katilah dari daerah Mahallah Kubro merasa terheran-heran dengan meriahnya haul Syekh Ahmad al-Badawi. “Aneh sekali, banyak manusia yang merayakan haul Syekh Ahmad al-Badawi. Seandainya saja mereka lebih mengutamakan ziarah ke makam Rasulullah daripada sekadar memeriahkan haul Syekh Ahmad al-Badawi,” ujar Syekh Abu Ghaith dalam hati. Di dalam acara haul, Syekh Abu Ghaith diberi hidangan makanan yang berlimpah. Tak terasa, ada sebuah duri yang menyangkut di tenggorokannya. Setelah kejadian itu, Syekh Abu Ghaith merasa kesakitan tak sedikitpun ia merasakan nikmatnya makan, minum juga tidur. Tubuh Syekh Abu Ghaith pun kering kerontang bagaikan pelepah kurma. Setelah sembilan bulan lamanya, datanglah petunjuk dalam mimpi agar ia meminta maaf kepada Syekh Ahmad al-Badawi. Maka, ia ditandu oleh murid-muridnya menuju makam Syekh Ahmad al-Badawi. Belum selesai ia membaca surah Yasin, tiba-tiba keluarlah duri di tenggorokannya. Dengan izin Allah, Syekh Abu Ghaith sehat seperti sedia kala. Kisah ini dikutip dari Kitab At-Thabaqatul Kubra karya Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani cetakan Darul Fikr, Beirut, Lebanon 2012 M, dan Kitab As-Sayyid Ahmad al-Badawi karya Dr. Abdul Halim Mahmud cetakan Dar al-Ma’arif, Kairo, Mesir 2008 M. Ustadz Muhammad Tholhah Al-Fayadl, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo. Beliau adalah Syeikh Ahmad Badawi berasal dari Kota Fas, Magribi. Seorang ulama sufi & wali Allah yang sangat terkenal di dunia sufi ini lahir pada tahun 596 H. Nama sebenarnya Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Badawi. Berketurunan Nabi saw, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib, suami Saiyidah Fatimah binti Saiyidina Nabi Muhammad saw. Keluarga Badawi bukan penduduk asli Fas. Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam yang berhijrah tinggal di Negara Arab paling barat ini. Di sinilah Ahmad kecil menghafal al-Qur’an mengkaji ilmu-ilmu agama khususnya fekah Mazhab Syafie. Pada tahun 609 H ayahnya membawanya pergi ke tanah Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka tinggal di Makah selama beberapa tahun sampai ayahnya meninggal dunia pada tahun 627 H dan dimakamkan di Ma’la. Syeikh Ahmad Badawi selalu mengenakan tutup muka. Suatu ketika berkhalwat selama empat puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk melihat ke langit. Tiba-tiba dia mendengar suara tanpa rupa hatif, berkata “Berdirilah !” lalu suara itu terus mengucapkan kata-kata, carilah tempat terbitnya matahari. Bila jumpa, carilah pula tempat terbenamnya matahari. Kemudian…berpindahlah ke Tanta, satu Bandar di Gharbiyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda”. Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang wali Allah yang terkenal iaitu Syeikh Abdul Kadir Al Jailani dan Syeikh Ar Rifa’i. “Wahai Ahmad ” kata kedua orang wali Allah itu kepada Syeikh Ahmad Al Badawi seperti mengeluarkan arahan. ” Kunci-kunci rahsia wilayah Iraq, India, Yaman, as-Syarq dan al-Gharbiyah di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka “. Tanpa disangka-sangka Al Badawi menjawab, “Saya tidak akan mengambil kunci tersebut kecuali dari Zat Yang Maha Membuka. Perjalanan selanjutnya adalah Mesir negeri para nabi dan ahli bait. Syeikh Ahmad masuk ke Mesir pada tahun 634 H. Di sana ia bertemu dengan Al Zahir Bibers dengan tenteranya. Mereka menyanjung dan memuliakan wali Allah ini. Namun takdir sudah menetukan ia harus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan ghaib, Tanta, satu kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Dia laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh dengan mutiara, itulah Syeikh Ahmad Al Badawi. Syeikh Matbuli berkata, “Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ” Setelah Muhammad bin Idris As Syafe tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh daripada Ahmad Badawi, Nafisah, Syarafuddin Al Kurdi kemudian Al Manufi. Syeikh Matbuli hidup bukan di zaman Rasulullah saw, dia mendapatnya dengan karamah kewaliannya. Suatu ketika Ibnu Daqiq Eid mengutus Abdul Aziz Ad Darini untuk menguji Syeikh Ahmad Badawi dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, “Jawapan soalan-soalan itu terdapat dalam kitab Syajaratul Ma’arif’ karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam. Ertinya beliau juga amat menguasai ilmu-ilmu syariat malah menghafaznya. Karamah lahiriah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tetapi tidak ada salah disebutkan beberapa karmah Syeikh Ahmad Badawi sebagai bukti betapa hebatnya orang-orang Tuhan ini. Diantaranya seperti yang biasa kita dengar bahawa beliau ni sentiasa menutup wajahnya dengan kain dari pandangan manusia. Dalam masa yang sama, ia mempunyai pengikut yang ramai. Maka ramailah dikalangan ulama yang berhasad dengki, mengadu kepada pemerintah bahawa Syeikh Ahmad mengamalkan ajaran sesat, sebab itu dia menutup yang memerintah ketika itu memanggilnya ke istana untuk mengetahui duduk perkara dan memaksanya membuka kain penutup mukanya. Bila sahaja dibuka kain tersebut, memancarlah cahaya dari wajahnya yang sangat menyilaukan pandangan. Tahulah Sultan bahawa beliau adalah wali Allah. Setelah itu diketahui rahsia cahaya mukanya adalah kerana dia beramal dengan selawat yang dikenali selepas itu dengan Selawat Badawi.’ Diceritakan ada seorang Syeikh yang hendak bermusafir. Sebelum bertolak dia meminta pendapat pada Syeikh Ahmad Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. Nisbah lahir sudah meninggal dunia, sedangkan para wali tidak mati seperti orang biasa. Mereka hanya berpindah alam, roh mereka masih berperanan. “Pergilah, dan tawakkallah kepada Allah SWT” tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syeikh Ahmad Badawi. Tersebut kisah Syeikh Ahmad Badawi suatu hari berkata kepada seorang laki-laki yang memohon panduan dalam perniagaannya. “Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin”. Nasihatnya benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian dengan izin Allah kejadian itu terbukti benar. Ini memperlihatkan orang Tuhan mendapat sumber ilmu dari Tuhannya, tidak terbatas dengan persoalan akhirat semata-mata. Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang mewarnai dunia Islam dengan cinta dan takut Tuhan. Dengan kasih sayang sesama manusia. Syeikh Ahmad Badawi yang tidak berkahwin ini berpindah ke alam baqa’ dekat dengan kekasihnya Allah swt. Jasadnya dikebumikan di Tanta, Mesir. Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat Islam seperti tidak tahan, menanggung rindu akan kehadirannya. Maka diadakanlah di hari ulangtahun kelahirannya, diadakan majlis merayakannya, maka sejarah mencatat, orang ramai datang umpama gelombang banjir dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan pegawai agama ditahun-tahun selepas itu cuba menghalang acara maulid ini untuk mengelakkan bid’ah kononnya. Ia terjadi hanya satu tahun sahaja. Tahun berikutnya perayaan diadakan kembali hingga sekarang. Kota Fas beruntung sekali karena pernah melahirkan sang manusia langit yang namanya semerbak di dunia sufi pada tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama lengkap Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakar al-Badawi ini ternyata termasuk zurriyyah baginda Nabi Muhammad Saw, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib kw, suami sayyidah Fatimah binti Sayyidina Nabi Muhammad Saw. Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas sekarang termasuk kota di Maroko. Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam sampai akhirnya tinggal di Negara Arab paling barat ini. Di sinilah Badawi kecil menghafal Al-Qur’an, dan mengkaji ilmu-ilmu agama khususnya fikih madzhab Syafi’i. Pada tahun 609 H, ayahnya membawanya pergi ke tanah Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka tinggal di Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput sang ayah pada tahun 627 H dan dimakamkan di Ma’la. Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika berkhalwat selama empat puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. “Berdirilah!” begitu suara itu terus menggema, “Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari. Kemudian.. beranjaklah ke Thantha, suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda.” Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang yang terkenal yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. “Wahai Ahmad”, begitu kedua orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. “Kunci-kunci rahasia wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka.” Tanpa disangka-sangka al-Badawi menjawab, “Saya tidak akan mengambil kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka. Perjalanan selanjutnya adalah Mesir, negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada tahun 34 H. Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung dan memuliakan sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan ghaib, Thantha, satu kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna’i, Syaikh Salim al-Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya, menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya. Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang yang pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakiti. Tapi rupanya keberuntungan dan kebijakan berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap masalah, bahkan menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada orang lain, tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya. Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian tangan Yang Maha Asih. Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap yang mulia ini ia tenggelam dalam dzikir dan belaian Allah SWT. Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah Syaikh Ahmad al-Badawi. Matbuli dalam hal ini memberi kesaksian, “Rasulullah Saw bersabda kepadaku, “Setelah Muhammad bin Idris as-Syafi’i, tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh daripada Ahmad al-Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi kemudian al-Manufi.” Suatu ketika Ibnu Daqiq al-Id mengutus Abdul Aziz al-Darini untuk menguji Syaikh Ahmad al-Badawi dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, “Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab “Syajaratul Ma’arif” karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam. Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tidak ada salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya wali yang satu ini. Alkisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta pendapat pada Syaikh Ahmad al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. “Pergilah, dan tawakkallah kepada Allah SWT”, tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syaikh Badawi. Syaikh Sya’rani berkomentar, “Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya sendiri.” Suatu hari Syaikh Badawi berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk dalam berdagang, “Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin.” Demikian nasehat Syaikh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar. Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan dalam puluhan tahun berikutnya. Syaikh Ahmad al-Badawi, pecinta Ilahi yang belum pernah menikah ini beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah beliau meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul Al sampai dia meninggal pada tahun 773 H. Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan kehadiran dan petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Ahmad al-Badawi. Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid Syaikh Ahmad al-Badawi ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali sampai sekarang.

karomah syekh ahmad badawi