KisahKaromah Habib Kuncung. A A A. Habib Kuncung juga sering berkunjung di majelis ulama kalangan Habaib di Jakarta yang dipusatkan di Kediaman Habib Ali Al-Habsyi Kwitang untuk memperdalam ilmu agama. Dari Kwitang lalu dia belajar kepada Habib Keramat Empang Bogor, Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Attas.
Kamimembuat perjalanan ke Makam Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi Kwitang mudah, alasan itu lah yang membuat jutaan 930 pengguna, termasuk pengguna di Jakarta Selatan, percaya kepada Moovit sebagai app Transportasi Umum terbaik. Kamu tidak perlu mengunduh app untuk bis atau kereta secara terpisah, Moovit adalah app Transportasi Umum yang
HabibAli bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang (20 April 1870 - 13 Oktober 1968) adalah salah seorang tokoh penyiar agama Islam terdepan di Jakarta pada abad 20. Ia juga pendiri dan pimpinan pertama pengajian Majelis Taklim Kwitang yang merupakan satu cikal-bakal organisasi-organisasi keagaaman lainnya di Jakarta.
JawabHabib Muhammad. "Bukan! Ini hadiah dari ahlul barzakh, ya Habib Muhammad. Ayo bismillah kita makan." kata Habib Sholeh. Sambil tersenyum, Habib Muhammad mempersilakan para tamu termasuk Habib Sholeh untuk menikmati hidangan dan berkata, "Apa sih yang Habib Sholeh gak tahu. Jangan-jangan, malah sudah janjian dengan walid ali.".
KisahKaromah Habib Abdurrahman Bin Abdullah Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid Tanggul Jember Bamah Habib Ali Al Jufri Mendoakan Masuk Sorga Kepada Pencacinya Ali Bin Abdurrahman Alhabsyi Wikipedia Bahasa Indonesia Habib Abdurrahman Kwitang Dicintai Karena Supel Dan Teduh
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Yogyakarta – Bagi warga Jakarta, khususnya yang bermukim di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, tentu sudah familiar dengan sosok Habib Ali Kwitang. Beliau merupakan ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di tanah lengkapnya ialah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi. Beliau adalah anak dari al-Habib Abdurrahman al-Habsyi dan Nyai Hajjah Ali lahir pada tanggal 20 April 1870 M di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Penisbatan nama Kwitang di belakang nama Habib Ali, dikarenakan di kampung itulah beliau lahir dan berdakwah sepanjang hidupnya. Hal tersebut yang kemudian membuat masyarakat mengenal beliau dengan nama Habib Ali Ali adalah keturunan Rasululullah yang memiliki nasab sebagai berikut al-Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi Shahib Syi’ib bin Muhammad bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad PendidikanSejak kecil Habib Ali dididik langsung oleh ayahnya. Waktu yang dihabiskan Habib Ali belajar dengan ayahnya bisa terbilang singkat, karena ayahanda Habib Ali wafat pada saat Habib Ali berusia 10 tahun. Setelah ayahnya wafat, Habib Ali berangkat menuju Hadhramaut untuk menimba ilmu dengan para ulama di sana. Selama di Hadhramaut, Habib Ali berguru kepada1. al-Imam al-Qutub al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Penggubah Maulid Simtuddurar2. al-Imam al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas3. al-Habib Hasan bin Ahmad al-Aydrus4. al-Habib Zein bin Alwi Ba’bud5. Asy-Syeikh Hasan bin Awadh Mukhaddam6. al-Imam al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Mufti ad-Dhiyyar al-Hadramiyyah dan juga penulis kitab Bughyah al-Musytarsyiddin, dan masih banyak ulama di Hadhramaut, Habib Ali menggunakan waktunya untuk belajar dan bersilaturahmi kepada para aulia di sana. Masa yang ditempuh Habib Ali di sana sekitar 7 tahun. Setelah dirasa selesai belajar di Yaman, beliau lalu kembali ke tanah ke Tanah Air dan Membuka Majelis Ta’limSetelah kembali ke Indonesia, Habib Ali masih berguru kepada banyak ulama di Tanah Air. Di antara beberapa guru beliau adalah al-Habib Usman bin Yahya Mufti Batavia, Abdul Hamid, Jatinegara, al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Keramat Empang, Bogor, dan masih banyak ulama periode tahun 1940 M hingga 1960 M, ada tiga serangkai ulama yang sangat berpengaruh dalam dakwah di Jakarta. Mereka adalah al-Habib Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, al-Habib Ali bin Husein al-Attas Bungur dan al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Banyak orang Jakarta berguru kepada mereka hidup, Habib Ali menghabiskan waktunya dengan menyebarkan Islam kepada seluruh kalangan tanpa membeda-bedakan. Habib Ali membuka majelis ta’lim tiap minggu pagi. Majelis ini adalah majelis pertama di Jakarta dan merupakan cikal bakal berdirinya majelis ta’lim di seluruh Abdul Qadir Umar Mauladdawilah dalam 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia 2013, di masa awal ketika Habib Ali merintis majelisnya, tidak ada seorangpun yang berani membuka majelis ta’lim karena dakwah waktu itu sangat diawasi dan dibatasi gerak-geriknya oleh pemerintah Kolonial ulama kala itu dianggap berbahaya oleh pemerintah. Mereka kerap diasosiasikan sebagai penghasut, provokator, hingga pemberontak terhadap kekuasaan kolonial. Itulah sebabnya mengapa para ulama semua perilakunya diawasi ketat oleh setelah majelis Habib Ali berdiri, bermunculan beberapa majelis lain di Jakarta dan di berbagai daerah di luar Jakarta. Kini majelis ta’lim menjadi ciri tersendiri dari model dakwah para ulama di Jakarta, entah yang berasal dari golongan habaib atau kyai di tiap sudut kota Jakarta sekarang pasti ada forum pengajian untuk masyarakat umum. Semua itu tidak mungkin terjadi tanpa ada upaya awal dari Habib dari hal di atas tidak keliru jika dikatakan kalau pengajian umum minggu pagi rintisan Habib Ali merupakan forum ilmu yang sangat berpengaruh di Tanah berpengaruhnya, KH Abdurrahman Wahid Gus Dur dalam satu artikel di Majalah Tempo berjudul Kwitang! Kwitang! 1983, menulis bahwa majelis Habib Ali bahkan sampai dijadikan strategi mencari penumpang oleh para kondektur bus kota yang trayeknya melewati lokasi Gus Dur, tiap minggu pagi para kondektur bus kota yang lewat lokasi pengajian akan berteriak, “Kwitang, Kwitang,” sebagai cara menarik kondektur ini tahu bahwa animo masyarakat yang akan hadir ke pengajian Habib Ali sangat besar. Itulah sebabnya mereka berteriak, “Kwitang, Kwitang,” guna mencari penumpang. Tingkah para kondektur ini uniknya hanya terjadi di hari minggu atau di hari ketika pengajian hari biasa, tidak ada kondektur yang berteriak, “Kwitang, Kwitang.” Mereka kembali ke mode normal seperti sebelumnya. Hal demikian menjadi bukti bagaimana besarnya pengaruh/barokah pengajian Habib Ali terhadap lingkungan sekitar. Majelis ta’lim tidak hanya menjadi forum ilmu, tapi juga menjadi sarana orang banyak untuk mengais Ali, Gus Dur, dan NUMereka yang hadir dan berguru kepada Habib Ali melalui majelisnya tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Banyak tokoh publik dan ulama-ulama lain yang menjadi murid seperti Gus Dur dan Idham Cholid adalah contoh dua tokoh besar yang menjadi murid beliau. Keduanya merupakan mantan Ketua Umum PBNU dan sama-sama tokoh berpengaruh dalam dunia Islam satu kesempatan, Gus Dur mengatakan bahwa ia sewaktu kecil pernah mengkhatamkan beberapa kitab di hadapan Habib Ali langsung. Gus Dur bisa berkesempatan mengaji langsung kepada Habib Ali karena pengaruh KH. Wahid Hasyim yang tak lain adalah Wahid menurut penuturan Gus Dur kerap hadir di majelis Habib Ali dan mengajak Gus Dur ikut ke sana. Dari situlah awalnya kemudian Gus Dur jadi rutin pula datang ke pengajian Habib Dur sangat menghormati Habib Ali. Bentuk penghormatan Gus Dur terlihat melalui sikapnya yang masih kerap hadir di majelis Habib Ali meskipun Habib Ali telah sebuah cerita, konon kala Gus Dur masih menjadi Presiden, Gus Dur pernah tiba-tiba datang ke majelis Habib Ali Kwitang tanpa pemberitahuan ditanya oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Habsyi cucu Habib Ali kenapa datang mendadak, dengan santai Gus Dur menjawab, “mending begini Bib, kalau kasih kabar nanti kasihan jama’ah lain bisa repot.”Kalau dilacak ke belakang, hormatnya Gus Dur kepada Habib Ali memang sangat beralasan. Selain karena faktor keilmuan Habib Ali yang sangat luas serta faktor nasab beliau yang mulia, faktor kedekatan antara Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim selaku kakek dan ayah Gus Dur kepada Habib Ali menjadi faktor lain yang juga cerita yang beredar, ketika NU awal berdiri pada 1926, NU belum bisa masuk ke Batavia Jakarta. Barulah setelah Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim datang menemui Habib Ali di Jakarta dan meminta izin untuk mendirikan NU di sana, NU selanjutnya bisa masuk dan berdiri pula di Jakarta pada Ali sendiri tidak hanya mengizinkan, melainkan beliau juga masuk dan mendaku dirinya sebagai Nahdliyin. Hal inilah yang patut diduga menjadi penyebab mengapa Gus Dur sangat hormat kepada Habib Ali di samping faktor keilmuan dan faktor kedekatan kultural dan emosional antara keluarga Gus Dur dengan Habib Ali yang membuat Gus Dur menghormati Habib Ali sedemikian Dur sendiri dalam satu forum pernah menyebut bahwa Habib Ali adalah pakunya Jakarta bersama al-Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus Habib Keramat Luar Batang Luar Batang dan Habib Usman bin Yahya Mufti Batavia. Hal ini menjadi semacam pengakuan akan bagaimana tingginya kedudukan Habib Ali dalam kehidupan umat menghabiskan seluruh waktunya untuk berdakwah, Habib Ali wafat pada 13 Oktober 1968 M di usia 102 tahun. Habib Ali dimakamkan di samping Masjid ar-Riyadh, Kwitang, Jakarta telah tiada, warisan akhlak, ilmu, dan segala kebaikan Habib Ali semasa hidup akan tetap abadi sampai kapanpun. Makam Habib Ali terbuka untuk umum. Siapapun boleh dan bisa berziarah ke makam beliau di Kwitang.
Siapa yang tak kenal Habib Utsman bin Yahya. Seorang sosok ulama besar yang menjadi guru dari semua guru agama, khususnya bagi masyarakat juga dijuluki Sayyid karena nasabnya yang tersambung dengan Rasulullah SAW. Meski berdarah Arab, Sayyid Utsman lahir di Kampung Arab Pekojan Jakarta Barat pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H atau 1822 M dan kemudian menetap di Petamburan Jakarta lengkap beliau adalah Al-Habib Utsman bin Yahya bin Aqil bin Syeikh bin Abdurahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya. Ayahnya adalah Abdullah bin Aqil bin Syeikh bin Abdurahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syekh Abdurahman Utsman diangkat menjadi mufti setelah 22 tahun menimba ilmu di lebih 10 negara. Ia kembali ke Betawi pada 1279 H bulan Rabiul Awal. Beliau menjadi mufti di Indonesia pada pertengahan abad ke-19. Untuk diketahui, mufti adalah seorang ulama yang mengeluarkan fatwa sebagai jawaban atas persoalan umat berkaitan dengan hukum Islam. Sebagai seorang mufti, Habib Utsman dikenal sebagai ulama berpengaruh. Beliau sangat produktif menulis kitab menyangkut berbagai masalah agama. Tercatat sekitar 100 kitab telah ditulisnya. Kitabnya dalam huruf Arab gundul’ masih bisa dilihat di Gedung Arsip Nasional, Salemba, Jakarta Pusat. Sifat Doe Poeloeh dan Irsyadul Anam adalah dua di antara sekian banyak kitab karangannya yang masih menjadi bacaan di majelis-majelis taklim di Jakarta dan sekitarnya. Ketika Habib Utsman berusia 3 tahun, ayahnya kembali ke Mekah. Ia diasuh dan belajar agama pada kakeknya, ulama Mesir. Pada usia 18 tahun ia menyusul ayahnya ke Mekah dan belajar ilmu agama dari sejumlah ulama di tanah suci. Di antara gurunya adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang buku-bukunya hingga kini banyak diajarkan di berbagai tahun di Mekah, Habib Utsman kemudian belajar ke Hadramaut, Yaman. Di sini selama beberapa tahun ia belajar pada para ulama setempat. Kemudian ia kembali ke Makkah dan terus ke Madinah. Antara lain, ia menuntut ilmu pada Syekh Muhammad Al-Azab pengarang kitab Maulid Azab yang banyak dibacakan pada acara-acara maulid di pemuda yang selalu haus akan ilmu, ia kemudian belajar ke Mesir dan sempat menikah di negeri piramida itu, kemudian ke Tunisia. Di sini ia sering bertukar pikiran dengan Mufti Tunis. Dari Tunis ia menuntut ilmu pada ulama terkemuka Aljazair, yang kala itu jadi jajahan Perancis. Terus ke Maroko dan berbagai negara negara-negara Afrika Utara itu ia memperdalam ilmu syariah. Kemudian meneruskan perantauannya ke Siria menemui para ulama di negara tersebut, sebelum meneruskan perjalanannya ke Turki, yang masih berbentuk kesultanan. Terus ke Baitul Maqdis di Yerusalem, dan kembali ke Mekah. Pada 1279 H ia kembali ke Batavia setelah menimba ilmu selama 22 tahun. Ia diangkat sebagai mufti Betawi 1289 Ustaz Ahmad Sarwat MA, seorang Ulama Fiqih Indonesia menyebutkan, sosok Habib Utsman bin Yahya bukanlah habib sembarang habib. Ilmu agama beliau sangat tinggi dan luas. Karya tulis beliau tidak kurang dari 80 judul kitab jumlahnya, yang sampai hari ini masih dipakai oleh orang-orang Betawi untuk beliau yang pertama adalah ayah beliau sendiri, Syeikh Yahya. Namun setelah itu beliau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim disana selama 7 tahun untuk memperdalam ilmu agama. Di Mekah beliau berguru salah satunya kepada Mufti Mekah, Sayyid Ahmad Zaini antara guru-gurunya antara lain Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, Habib Hasan bin Shaleh berpergian dari satu negeri ke negeri lain untuk memperoleh dan mendalami bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain. Setelah itu kembali ke Menjadi Mufti BetawiKarena keluasan ilmunya dan pergaulannya yang sangat luas, Habib Utsman diangkat menjadi mufti Betawi oleh pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1279 Hijriyah atau bertepatan tahun 1862 Masehi. beliau kembali ke Batavia dan menetap hingga diangkat menjadi mufti menggantikan mufti sebelumnya, Syekh Abdul Gani yang telah lanjut usianya, dan sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab 1899-1914 di kantor Voor Inlandsche Ahmad Sarwat menceritakan, sebelum menjadi mufti, sebenarnya beliau sudah menjadi guru agama dengan jumlah murid yang sangat banyak. Boleh dibilang, dari beliau itulah hampir semua guru, muallim, kiyai dan tokoh agama menuntut ilmu. Boleh dibilang, orang-orang Betawi memang punya sanad ilmu, mirip dengan di masa salaf dulu, dimana setiap ulama pasti punya jalur dari mana mereka mendapatkan orang Betawi mengenal sosok Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, yang menjadi guru dari Kiyai Abdullah Syafi'i Perguruan Asy-Syafi'iyah dan KH Thahir Rahili Perguruan At-Thahiriyah, maka ketahuilah bahwa guru keduanya, Habib Ali Al-Habsyi Kwitang ini, adalah salah satu murid dari sekian banyak Sayyid beliau yang lain adalah KH Mansyur 1878-1967, Jembatan Lima. Yusuf Mansyur yang kondang itu konon mengaku sebagai cicit dari kiyai ini. Guru Mansyur, begitu panggilan akrabnya, merupakan seorang ilmuwan Betawi di zaman penjajahan terkenal lain yang juga menjadi murid Sayyid Utsman adalah Sayid Abu Bakar Al-Habsyi Kebun Jeruk Jakarta. Juga ada Sayyid Muhammad bin Abdurrahman Pekojan, Kiyai Makruf Kampung Petunduan Senayan, Tuanku Raja Kemala Aceh, Kiyai Muhammad Thabarani, penghulu Pekojan Jakarta dan mufti, banyak pihak yang mengkritik kedekatan Habib Utsman dengan orientalis Belanda, Snouck Hurgronye. Mr Hamid Algadri dalam bukunya, Potitik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, menulis bahwa kedekatannya dengan Snouck karena keyakinannya bahwa Snouck adalah seorang Muslim secara lahiriyah maupun batiniah. Mufti Betawi ini meninggal dunia pada 21 Shafar atau tahun 1913 Masehi pada usia lebih dari 93 tahun. Sebelum menghadap Ilahi, Beliau pernah berwasiat agar jangan dimakamkan di pemakaman khusus tersendiri. Beliau meminta dimakamkan di pemakaman umum Karet, Tanah Abang, Jakarta. Namun, pada masa itu daerah Tanah Abang terkena proyek pembangunan, sehingga makam Beliau dipindah ke Kompleks Masjid Al-Abidin, Pondok Bambu, Jakata Timur. Sumber rhs
Di tiap zaman, selalu hadir sa’adah alawiyin habaib yang jadi “pilar suwuk” dan “paku bumi” di belakang tegaknya Indonesia dan kokohnya konsep Pancasila. Jalan Pengangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, pada pagi 17 Agustus 1945, bisa aman tanpa gangguan, tentu barokah suwuk doa para ulama dan sejumlah habaib ahlul wilayah yang berada di Jakarta kala itu. Sebab, andai tak disuwuk dan didoakan para ulama, Indonesia beserta proklamasi kemerdekaannya mungkin tak akan pernah ada. Ini tentu bukan tanpa alasan. Beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, Soekarno merasa cemas dan agak ketakutan. Sebab, Jepang dan Belanda masih punya taring untuk menggagalkan rencana kemerdekaan Bangsa Indonesia yang akan ia dan kawan-kawannya agendakan. Hal ini membuat Soekarno harus punya jalan lain, selain sekadar konsolidasi lahiriah. Tapi berkat M Husni Thamrin 1894-1941, tokoh pergerakan Betawi sekaligus kawan baiknya, presiden pertama RI itu dianjurkan untuk sowan pada Habib Ali Kwitang Jakarta, untuk disuwuk agar mendapat keberanian sekaligus ketenangan batin. Dalam tradisi Islam Aswaja, suwuk doa merupakan perkara penting yang jadi penyeimbang upaya manusia dalam mencapai tujuan, agar tak nggeblak di tengah jalan. Ini juga alasan utama di balik kredo dalam menjalani hidup, santri harus bisa nyuwuk batiniah dan bisa nggepuk lahiriyah. Hal itu pula yang direkomendasikan MH Thamrin pada Soekarno. Tak hanya sowan, pada pertengahan 1945 itu, Bung Karno nyantri di bawah asuhan Habib Ali Kwitang selama 4 bulan. Selain mendapat barokah suwuk, ia juga ngaji sekaligus berlindung dari ancaman Belanda dan Jepang, agar memiliki keberanian untuk membaca teks proklamasi. Soekarno akhirnya menemui kemantapan hati. Bahkan, Soekarno kian percaya diri karena ada sederet habaib dan ulama waliyyun minauliyaillah yang berdiri di belakangnya, sebagai “pilar suwuk” yang ikut pasang kuda-kuda agar Indonesia berdiri tegak dan merdeka. Di era modern, ada dua habaib paling sepuh di Jakarta, yang sangat mencintai Indonesia. Mereka adalah Habib Husein bin Abubakar Alaydrus atau Habib Luar Batang dan Habib Utsman bin Yahya atau Mufti Betawi 1822-1913. Mereka berdua adalah ulama waliyyun minauliyaillah yang menjadi paku bumi sekaligus pilar suwuk di Jakarta. Ini belum para habaib di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang juga masyhur banyaknya. Jika diurut dengan periodisasi, ada sejumlah habaib yang memang berada di belakang Pancasila, sebagai pilar penyangga di Jakarta. Pilar Suwuk Generasi Pertama Pada masa awal pendirian Indonesia, ada sejumlah nama habaib khowas yang secara intensif mengawal dan mendampingi kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Mereka adalah penerus dari Habib Luar Batang dan Mufti Betawi. Mereka dikenal sebagai Triumvirat Waliyullah Jakarta. Diantaranya; Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsy atau Habib Ali Kwitang 1870-1968, Habib Ali bin Husein Al Athos atau Habib Ali Bungur 1889-1976, dan Habib Salim bin Djindan 1906-1969. Yang mana, Pancasila bisa aman di Jakarta, barokah suwuk doa beliau semua. Mereka dikenal sebagai Triumvirat Waliyullah Jakarta yang menjadi punjer bagi sanad keilmuan semua ulama Aswaja Jakarta, pada masa itu. Selain memiliki jalur sanad yang jelas, jalur nasab mereka juga sangat jelas hingga Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Semua ulama Aswaja Jakarta, tak ada yang tak bersanad ilmu pada mereka. Jika tidak gurunya, pasti guru dari guru-gurunya. Karenanya, jika saat ini ada habaib atau ulama atau ustaz atau agamawan atau motivator agama di Jakarta yang kerap mengganggu stabilitas Indonesia, kita semua boleh meragukan sanad keilmuan mereka. Pilar Suwuk Generasi Kedua Pasca era pertama, Pancasila masih dijaga dan dikawal para habaib yang merupakan penerus generasi pertama. Yang paling terkenal, tentu saja Habib Muhammad bin Habib Ali Kwitang 1913-1993 dan Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih Malang 1935-1993. Keduanya adalah dua habaib, dari sisi barat dan timur, yang punya pengaruh besar terhadap stabilitas Indonesia. Hampir semua habaib pada zamannya bersanad ilmu pada beliau berdua. Keduanya sosok besar dibalik konsep hubbul wathan minal iman di kalangan para Habaib Indonesia. Habib Muhammad Kwitang putra Habib Ali Kwitang dan Habib Abdullah Bilfaqih punya peran besar terhadap Indonesia. Beliau berdua memiliki andil besar terhadap sistem perundang-undangan negara. Yakni, jadi tenaga ahli Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila P4, dengan tugas mencari dalil Qur’an dan Hadis untuk 5 sila pada Pancasila sebagai dasar negara. Sementara Habib Abdullah Bilfaqih putra Habib Abdul Qodir Bilfaqih, merupakan ulama nan waliyullah yang melahirkan istilah “Jadilah seorang pancasilais yang muslim, dan muslim yang pancasilais.” Istilah itu terdapat dalam esai beliau berjudul “Mengapa Umat Islam Menerima Pancasila?” yang dimuat di surat kabar era 1970-an. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai penasehat ahli Menkokesra, membina beberapa majelis di departemen pemerintahan, sekaligus ikut membina kajian “Moral dan Spiritual Umat” di kalangan sipil maupun TNI. Habib Muhammad Kwitang dan Habib Abdullah Bilfaqih adalah dua ulama habaib yang menjadi punjer sanad keilmuan semua habaib di Indonesia pada zamannya. Hampir semua habaib bersanad ilmu pada beliau berdua. Karenanya, jika ada habaib atau ulama yang kerap mengganggu stabilitas Indonesia, kita semua boleh meragukan sanad keilmuan mereka. Pilar Suwuk Generasi Berikutnya Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan lahir 1947, Habib Ahmad Assegaf Pasuruan lahir 1955, adalah diantara sejumlah habaib punjer yang jadi paku bumi Indonesia saat ini. Beliau-beliau inilah sosok besar dibalik nasionalisme para habaib Indonesia saat ini. Daftar ini tentu bisa sangat panjang kalau diteruskan. Kita bisa meneruskannya sendiri. Tapi, yang pasti, mayoritas habaib yang benar-benar ulama dan waliyyun minauliyaillah, sangat melindungi dan menjaga Indonesia. Karenanya, jika ada habaib atau ulama yang kerap mengganggu stabilitas Indonesia, kita semua boleh meragukan sanad keilmuan mereka.
karomah habib ali kwitang